Buku Tamu

4.30.2012

Cerpen #1

Kenangan Terakhir Rena

Mati itu mudah. Kau hanya perlu melepaskan kehidupan yang telah kau jalani, merasakan napas kehidupan perlahan-lahan meninggalkan tubuhmu. Tidak ada rasa sakit seperti yang akan kau alami jika kau memilih untuk hidup. Aku bahkan tidak ingat rasa sakit yang kualami ketika mengalami kecelakaan maut yang memisahkanku dari dunia fana. Aku sendiri tidak yakin pernah mengalami rasa sakit itu.
Aku mengingat ada ambulans yang membawa tubuhku setelah kecelakaan itu terjadi. Namun diriku tidak benar-benar berada di dalamnya. Ambulans itu melintas melewatiku seolah-olah aku ini angin lalu. Kemudian aku sepertinya berlari di bawah naungan bintang-bintang malam, tidak yakin dengan tujuanku. Sepanjang perjalanan dunia seakan-akan mengabur dalam jarak pandangku. Pada akhirnya aku menemukan sebuah pintu yang tampak seperti satu-satunya benda nyata. Aku memutar kenopnya perlahan dan mendengar suara decitan samar. Pintu terbuka dan aku dihadapkan pada versi nyata diriku yang terbaring di ranjang rumah sakit.
Sepertinya aku belum mati. Mesin itu terus membunyikan denyut jantungku yang tidak stabil dan sangat pelan. Tidak, aku belum mati, sepertinya hanya koma. Aku menghampiri diriku yang terbaring di ranjang, menelusurkan jemariku yang kabur pada luka di sekujur tubuhku. Kepalaku dibalut perban dan aku melihat ada bekas darah kering di sana. Kakiku sepertinya patah. Selain itu aku tidak melihat adanya luka yang sangat parah. Hanya lecet di sana-sini dan aku yakin itu tidak akan menjadi masalah besar.
Saat itu aku masih berpikiran optimis. Aku yakin sebentar lagi aku pasti akan terbangun dari koma dan bisa kembali menjalani hidupku seperti kecelakaan ini tidak pernah terjadi. Tiba-tiba aku mendengar suara pintu berdecit terbuka dan orangtuaku masuk diikuti sahabat terbaikku, Niken. Wajah Niken terlihat sembap dan matanya merah, aku menduga dia pasti habis menangis. Aku tahu betul sifatnya yang mudah khawatir.
Diam-diam aku merasa sedih, juga kesal ketika mereka menatap tubuhku yang tergeletak di ranjang tak berdaya. Sementara sesungguhnya aku disini mengawasi mereka. Niken berbicara pada kedua orang tuaku, kemudian keluar. Aku mengikutinya keluar dan melihatnya berjalan menghampiri Nathan, cowokku yang tampaknya baru datang. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya tak pernah seburuk ini. Sekali lagi aku merasa kesal mereka tidak melihatku berdiri di sini, sangat dekat dengan mereka.
Nathan terperanjat sejenak melihat kedatangan Niken. Aku tahu sudah lama sekali mereka tidak saling berbicara. Namun keadaan sepertinya memaksa Nathan berbicara padanya.
“Bagaimana keadaan Rena? Sebenarnya apa yang terjadi?” aku mendengar Nathan berbicara, hampir berbisik pada Niken. Suaranya terdengar sangat cemas.
“Tabrak lari. Orangtua Rena bilang dia gegar otak. Sampai sekarang Rena belum juga sadar,” bisik Niken.
Mereka saling terdiam, untuk beberapa saat tampaknya tidak ada yang tertarik untuk buka mulut. Selama itu aku terpacu untuk meneriakkan sesuatu pada mereka, apa saja, berharap mereka bisa mendengarku dan mengakhiri kecemasan mereka. Percayalah, aku sudah mencobanya meski aku tahu mereka tidak bisa mendengarku berteriak. Tenggorokanku rasanya tidak bisa berfungsi lagi, kata-kata itu tak pernah keluar.
Beberapa detik yang begitu sunyi, aku sampai berpikir mereka akan terus diam untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya aku mendengar Niken bersuara.
“Nathan, aku mohon kau lupakan dulu pertengkaran kita. Demi Rena. Aku tidak mau kita masih bermusuhan ketika Rena sedang sakit.”
Nathan tidak menanggapi. Aku tidak tahu ia pura-pura tidak mendengar Niken atau terlalu khawatir pada nasibku sehingga tidak menanggapi Niken.
“Nat… Untuk kesekian kalinya aku minta maaf. Jujur aku tidak tahu kesalahanku, tapi kalau aku memang ada salah aku minta maaf,” ucap Niken lemas sambil berjalan menjauhi Nathan.
“Nik..,” panggil Nathan sambil menggamit lengan Niken. “Kurasa kau benar. Aku akan melupakan pertengkaran kita. Demi Rena.”
“Demi Rena,” senyum Niken. Aku belum pernah melihatnya sebahagia ini sejak pertengkaran mereka. Niken selalu murung, selalu mempertanyakan apa kesalahannya terhadap Nathan. Mungkin kau tidak akan menyangka, tapi ini semua sangat erat kaitannya dengan diriku.

***

Aku hanyalah seorang remaja normal dengan kesibukan khas remaja. Mengerjakan tugas-tugas sekolah, diselingi hang out dengan teman-teman adalah hal yang biasa. Aku bahkan sudah bisa mengendarai sepeda motor sehingga akan lebih mudah bagiku untuk pergi ke manapun sesukaku. Orangtuaku hanya membatasi jam pulang, mereka memberikanku kebebasan untuk pergi ke mana saja asal masih dalam kota. Aku sungguh mencintai kehidupan remajaku.

Aku juga beruntung dalam hal persahabatan. Kalau ada orang yang sangat cocok denganku, Niken lah orangnya. Ia sangat cocok dijadikan teman curhat, selalu mendengarkanku dan memberikan solusi atas masalahku. Bahkan terhadap masalah kecil sekalipun ia tetap mendengarkan. Aku sungguh beruntung bisa memiliki sahabat seperti dia.
Dari segala kelebihan yang dimiliki Niken, aku hanya membenci satu darinya. Keberuntungannya soal cinta. Terkadang aku iri padanya yang mudah sekali dekat dengan cowok. Niken lah yang mengenalkanku pada Nathan. Mereka saling mengenal melalui ekskul basket yang mereka ikuti.
Aku langsung tertarik padanya ketika pertama kali kulihat matanya yang berbinar ramah, kemudian senyumnya yang bersahabat. Aku baru menyadari matanya berwarna cokelat tua, bukan hitam. Posturnya tinggi, seperti kebanyakan pemain basket. Kami mengobrol sebentar, hanya perkenalan singkat sebelum ia bergabung kembali dengan tim basketnya.
“Sepertinya kau dekat dengannya,” ujarku tiba-tiba.
Niken melirikku sekilas dengan curiga kemudian menjawab sambil tersenyum, “Begitulah. Nathan sering mengajariku teknik dan strategi permainan basket, kau tahu kan. Yah, sebenarnya aku lah yang memintanya.”
“Oh.” Aku hanya mengatakan itu padahal ada banyak pikiran dalam otakku. Mungkinkah hubungan mereka lebih dari sekadar teman? Aku tidak bertanya lebih lanjut pada Niken, sebaliknya aku berusaha mencari jawabannya sendiri.
Aku semakin sering menunggui Niken latihan basket, terutama karena ada Nathan di sana. Biasanya setelah latihan sore berakhir kami makan bersama di rumah makan kecil dekat sekolah. Nathan dan Niken lebih sering membahas soal basket, jadi aku lebih sering diam. Namun semakin sering kami bertiga bertemu, topik tentang basket dengan sendirinya berkurang.
Nathan ternyata tepat seperti yang sudah kuduga saat pertama kali bertemu dengannya. Ia sangat ramah dan cepat bergaul. Aku menceritakan hobi fotografiku padanya dan dia tampaknya tertarik. Senang sekali rasanya melihatnya tersenyum gembira padaku. Nathan bahkan memintaku membawakan koleksi foto hasil jepretanku sendiri. Ketika akhirnya kutunjukkan foto-fotoku, ia tersenyum dan memujiku.
“Kau punya bakat, Rena. Semua foto di sini diambil dengan sudut yang cukup sempurna, aku tidak akan bisa memotret sebaik kau,” puji Nathan.
Kuharap pipiku tidak merona. “Yang benar saja, aku kan masih sangat pemula. Kalau begitu bagaimana kalau aku memotretmu dan kau memotretku, kemudian hasilnya kita tunjukkan pada Niken. Minta dia memilih mana yang lebih bagus. Setuju?” tantangku.
Nathan melirik Niken yang sedang mengobrol dengan salah satu teman timnya. Aku mengenalinya sebagai Adam, cowok yang dulu pernah satu kali sekelas denganku. Tadi Niken bilang pada kami ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan ketua tim basket putra tersebut. Aku melihat wajah Nathan menegang ketika ia melihat mereka tertawa. Aku menduga itu hanya lelucon biasa, namun tidak halnya dengan Nathan.
“Ehm.. Nathan,” ujarku sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya.
“Oh.. iya, ada apa Ren?” tanya Nathan buru-buru.
“Kau dengar ucapanku barusan kan? Aku menantangmu memotret,” jelasku sekali lagi.
“Ya, tentu saja aku dengar. Aku setuju,” jawabnya. Aku menduga pikirannya sedang menerawang.
“Nathan, kau baik-baik saja? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Niken mungkin?” Pertanyaanku yang sederhana itu mendapat lirikan cepat dari Nathan.
“Apa? Oh tidak, tidak. Aku baik-baik saja. Aku tidak cemburu pada Niken.”
“Memangnya aku bilang kau cemburu pada Niken?”
Nathan langsung salah tingkah. Mukanya memerah dan ekspresinya menurutku sangat lucu. Campuran dari perasaan kaget dan tercengang. Aku berusaha keras untuk tidak tertawa.
“Akui saja lah, kau punya perasaan terhadap Niken,” desakku.
Untuk sesaat aku sempat berpikir. Aku tidak bisa membiarkan Nathan jatuh ke tangan Niken. Aku sudah pernah mengorbankan satu cowok demi Niken waktu dulu, kenapa sekarang aku perlu melakukannya lagi? Ini sungguh tidak adil.
“Aku…,”
“Dengar,” potongku. “Aku benci mengatakan ini padamu, tapi sebaiknya kukatakan sekarang daripada tidak sama sekali.”
Aku menunggunya bereaksi. Ia hanya memandangku dengan tatapan seolah mengatakan, ayo lanjutkan. Otakku segera memikirkan segala macam cara licik.
“Kemarin Niken cerita padaku,” kataku memulai kebohongan ini. “Niken bilang ia menyukai Adam sejak dulu. Kau hanyalah penghalang hubungan mereka.”
Nathan tercengang. Aku tidak tahu bagaimana aku mendapatkan keberanian dan kemampuan untuk mengatakan kebohongan ini, namun tampaknya Nathan langsung percaya. Ia melirik sekilas pada Niken yang lagi-lagi sedang tertawa, lalu buru-buru memalingkan muka.
“Kukira…,” ucap Nathan. “Kukira kami saling menyukai. Aku merasakan tatapannya padaku berbeda dengan tatapannya pada orang lain. Kau yakin dia mengatakan itu?”
Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku merasa puas karena telah meyakinkan Nathan tentang kebohongan ini.
Sejak hari itu aku tidak pernah melihat Niken dan Nathan akrab seperti biasanya. Sesekali aku memergoki mereka berpapasan tanpa menyapa. Sebaliknya hubunganku dan Nathan semakin dekat, seperti yang kuharapkan dulu.
Sepulang latihan basket aku dan Nathan hanya makan berdua saja. Niken selalu pamit pulang lebih dulu padaku. Hari itu kami telah berjanji untuk membawa foto yang kami potret sendiri, hasil tantanganku pada Nathan. Kami memasukkan kedua foto itu ke dalam amplop lalu menukarnya.
Nathan membuka amplopnya lebih dulu. Amplop itu berisi foto dirinya sedang melakukan shoot pada salah satu permainan basket. Ekspresinya serius, berbeda dengan ekspresinya sekarang ini yang sedang senyum-senyum. Aku memotretnya dari sudut yang kurasa sudah tepat.
Aku membuka amplopku dan tertegun. Di dalamnya ada fotoku sedang memotret sesuatu dengan kamera SLR ku. Namun yang membuatku tertegun adalah tulisan yang tertera pada foto tersebut. Selasa, 17 April. Aku memotret seorang gadis yang berhasil merebut hatiku. Rena, maukah kau menjadi pacarku?
Aku menoleh pada Nathan yang sedang tersenyum. Ia menatapku dengan penasaran walaupun sudah berusaha keras bersikap sabar. Aku tersenyum padanya dan menuliskan besar-besar pada bagian belakang foto. YA. Lalu kukembalikan foto beserta amplop padanya.
Ia menerimanya dengan wajah berseri-seri dan dengan segera senyumku bertambah lebar. Pada akhirnya aku bisa menjadi pacarnya, sesuatu yang kudambakan sejak pertama mengenalnya. Aku merasa sangat beruntung pada akhirnya bisa mendapatkan apa yang kuinginkan. Niken tidak lagi merebut cowok yang kusukai.
  Niken. Aku telah lupa sama sekali tentangnya. Aku tidak bermaksud mengambil Nathan darinya, ketika itu aku hanya kesal karena dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Tentu saja aku senang bisa menjadi pacar Nathan. Aku tidak perlu berpikir dua kali untuk menerimanya.
Namun seiring waktu aku mulai merasakan perubahan dari diri Niken ketika ia mengetahui aku dan Nathan pacaran. Aku sendiri yang memberitahunya kabar gembira ini dan dia tersenyum memberi selamat. Meski begitu aku sempat melihat seperti ada kilasan kesedihan tersembunyi dalam matanya.
Ketika Nathan mengajakku pergi berduaan aku merasakan Niken perlahan menjauhiku. Aku sudah beberapa kali mengajaknya pergi bersama kami, namun ia sepertinya selalu punya cara untuk menolak. Aku juga sempat beberapa kali memergokinya melamun.
Lama-lama aku merasa tidak tega pada Niken. Semua perubahan ini, Niken yang dulunya ceria berubah muram, semuanya karena kebohongan yang kumulai dulu. Aku memang mendapat apa yang kuinginkan. Kebahagiaan. Cinta. Namun apa artinya semua itu jika harus dibayar oleh persahabatan yang terancam retak.
Ini tidak seharusnya terjadi. Aku mencoba bicara pada Niken namun dia tidak mau mengatakan yang sejujurnya. Ia bilang Nathan tiba-tiba membencinya tanpa alasan. Aku terus mendesaknya untuk mengucapkan yang sejujurnya tapi ia hanya menatapku bingung. Aku menyimpulkan Nathan tidak memberitahunya apa-apa.
Untuk sesaat aku merasa lega Niken tidak mengetahui yang sebenarnya. Namun setelah kupikir lagi, aku telah begitu jahat padanya. Selama ini Niken tetap bersikap baik padaku meskipun aku bisa dibilang merebut Nathan darinya. Apalagi ia tidak tahu kalau aku menggunakan cara licik.
Aku memutuskan untuk mengatakan yang sejujurnya kepada mereka berdua. Aku tahu tindakanku akan beresiko pada hubunganku dengan Nathan. Benar-benar pilihan yang sulit. Namun aku tidak mau selamanya hidup dibayangi perasaan bersalah pada Niken.
Aku mulai menyusun rencana. Aku mengirim sms singkat pada mereka, mengajak bertemu di salah satu kafe di mall. Tentu saja aku tidak memberitahu bahwa mereka akan saling bertemu. Jika kuberitahu mereka pasti menolak datang dengan berbagai macam alasan.
Selama beberapa jam aku berusaha memikirkan apa yang akan kukatakan pada mereka dan menuliskannya di selembar kertas. Ini kulakukan supaya aku bisa menguasai diri ketika mengatakan kebenaran pada mereka. Aku sudah siap menerima resikonya. Sejak kecil aku sudah diajarkan mengenai tanggung jawab, dan hari ini aku ditantang untuk mempraktekannya.
Aku bersiap-siap pergi, kertas berisi tulisanku ada di dalam saku celana jeans yang kukenakan. Keberadaan kertas itu seolah-olah menambah kepercayaan diriku dan keyakinan akan keputusan yang telah kuambil.
Jadi sore itu aku membawa motorku melaju menuju mall. Dalam perjalanan ke sana itulah aku mengalami kecelakaan ini. Motorku tertabrak mobil yang bahkan tak kuingat merk dan warnanya. Jalanan itu cukup sepi, jadi mobil itu tak punya keraguan untuk meninggalkanku yang tergeletak berdarah di aspal. Untungnya ternyata masih ada saksi yang melihat kejadian ini dan segera menelepon ambulans.
Aku benci melihat darah. Aku bisa mual hanya dengan melihat seseorang terluka dan mengeluarkan darah. Tubuhku segera lemas ketika menyadari bahwa aku telah kehilangan cukup banyak darah. Aku bisa merasakan aliran hangat di kepalaku mulai membasahi aspal. Aku bahkan tidak sempat merasakan sakit di bagian tubuhku yang lain karena terlanjur jatuh pingsan.

***

Niken dan Nathan berjalan memasuki kamarku yang ternyata telah kosong. Aku dapat melihat ekspresi sedih pada wajah mereka, namun tak satupun dari mereka menangis. Niken melihat-lihat benda yang terletak di meja samping tempat tidurku. Di antara kunci motor, tas tangan, dan barang-barang yang kukenali sebagai milikku, ia memilih secarik kertas dan membukanya.
Aku langsung mengenalinya sebagai kertas berisi pengakuanku, kebenaran yang tadinya akan kusampaikan pada mereka secara langsung. Niken tertegun, ekspresinya jelas bertambah sedih. Ia lalu meletakkan kertas itu di tangan Nathan, menyuruhnya membaca. Ekspresi heran, geram, dan kesedihan secara bergantian terlihat di wajah Nathan.
Kurang lebih beginilah isi kertas tersebut. Aku harus menjelaskan sesuatu pada kalian. Kebenaran yang seharusnya sudah kukatakan sejak dulu. Namun keegoisan menguasai diriku sehingga aku mengucapkan kebohongan. Nathan, aku telah berbohong soal Niken yang menyukai Adam dan menganggapmu penghalang mereka. Itu sama sekali tidak benar, aku mengatakannya untuk menjauhkan Niken darimu. Aku menyukaimu sejak pertama kita bertemu, itu sebabnya aku tidak rela jika Niken dekat denganmu. Aku minta maaf, seharusnya aku tidak berbohong dari awal. Niken, aku juga minta maaf telah membuatmu sakit hati dan terus murung. Aku akan merasa tenang jika kalian bisa memaafkanku. Aku tidak peduli kalian memusuhiku.
Setelah hening beberapa saat Niken tiba-tiba memeluk Nathan dan menangis di bahunya. Nathan balas memeluk dan menenangkan Niken.
“Aku… aku tidak menyangka… Aku tidak akan pernah memusuhi Rena, Nat. Apapun yang dia lakukan. Setelah membacanya aku merasa bahwa Rena… Rena telah…,” Niken menangis sesenggukan.
Nathan menepuk-nepuk lembut bahu Niken. “Tenang Nik, aku yakin Rena belum meninggal. Dia pasti bisa sembuh.”
Niken tampaknya sedang menguasai diri supaya tidak sesenggukan sebelum berkata, “Nathan, jika Rena tidak mengalami kecelakaan apa kau akan memaafkannya?”
Nathan diam sejenak, berusaha memikirkan jawabannya. “Jujur saja Nik, aku sempat merasa marah tadi. Aku tidak menyangka Rena ternyata telah berbohong selama ini, hanya untuk menjauhkanmu dariku. Padahal dulu aku sempat menyukaimu..”
Niken terperanjat. Untuk sesaat sepertinya matanya menyiratkan kebahagiaan, sesuatu yang telah jarang kulihat. Namun kemudian ia kembali bertanya dengan serius, “Tapi… apa kau akan memaafkannya dan tidak memusuhinya?”
Kali ini Nathan langsung menjawab. “Tidak. Aku hampir yakin aku tidak akan bisa memaafkannya. Tapi dengan kondisi Rena begini…aku tidak tega.”
Pernyataan singkat Nathan segera membuatku sedih. Jika bukan karena kecelakaan ini, aku hampir bisa dipastikan akan mengalami patah hati. Dugaanku semula bahwa ini beresiko pada hubungan kami ternyata benar.
 “Kau harus memaafkannya,” Niken tiba-tiba berkata. “Berjanjilah padaku jika Rena terbangun nanti kau tidak akan menyimpan dendam terhadapnya. Aku tidak akan keberatan dengan hubungan kalian, selama aku masih bisa menjadi sahabat kalian.”
Aku menangis di dalam hati. Inikah sahabat yang telah kufitnah? Sahabat yang begitu baik meskipun aku telah menusuknya dari belakang. Aku tidak bisa melihat dia berkorban lebih banyak lagi. Aku ingin melihat Niken dan Nathan bahagia bersama. Aku tidak akan tahan melihat Niken menyembunyikan rasa sedih di balik topeng kebahagiaannya.
Aku melihat Nathan berjalan ke arah tempat tidurku dan memegang satu tanganku. Ia berusaha tersenyum sebelum berkata, ”Kau dengar Niken kan? Aku tidak akan memusuhimu, Rena. Aku memang kecewa, tapi aku akan belajar untuk memaafkanmu.”
Seketika aku merasa tenang. Beban yang menggelisahkan hatiku seolah-olah terangkat. Aku merasa cukup tenang untuk pergi sekarang. Entah kenapa pikiran ini muncul, mengalahkan pikiran optimisku untuk bertahan hidup.
Aku dihadapkan pada dua pilihan: hidup atau mati. Jika memilih untuk hidup aku mungkin tidak akan melihat Niken dan Nathan bahagia bersama sebagai pasangan. Sementara kematian akan menjauhkanku dari mereka, namun masih ada kesempatan bagi mereka untuk bersama. Pilihan yang sulit, namun aku telah memantapkan pilihanku.
Aku meyakinkan diriku bahwa ini adalah pilihan yang tepat bagi kami. Aku memutuskan untuk mati, meninggalkan mereka dan memberi mereka kesempatan untuk hidup bahagia bersama. Setelah yakin dengan pilihanku, aku sempat mendengar suara lengkingan datar dari mesin yang menunjukkan detak jantungku.
Niken menangis keras dan Nathan segera berlari menemui dokter. Namun usaha mereka tentu saja sia-sia. Aku telah memilih, dan aku tidak akan mengubah keputusanku. Sama seperti ketika aku memilih untuk menceritakan kebenaran pada mereka.
Aku merasa ringan dan pandanganku mulai mengabur. Aku tidak lagi berada di dunia fana. Aku telah menemukan kedamaian, sesuatu yang tidak akan pernah kutemukan jika aku memilih untuk tetap hidup. Aku menemukan kebahagiaan, karena mengetahui bahwa aku melakukan sesuatu yang benar.
Kisah hidupku berakhir sampai di sini. Ini adalah seluruh kenangan terakhirku ketika berada dalam masa kritis yang menentukan hidup dan mati. Kau memang tidak akan tahu bagaimana kisahmu berakhir, namun percayalah Tuhan akan menuliskan akhir yang indah.



Cerpen ini kutulis dalam rangka tugas akhir semester dari Guru B.Indo. No copas2. Boleh terinspirasi dari cerpen ini tapi gak boleh jiplak. Cerpen ini murni inspirasi dari diri sendiri. Yang udah baca harap komentarnya yah :) Butuh saran dan kritik yang membangun, hehe. Maaf kalo kurang bagus, masih cerpen pertama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar