Kenangan
Terakhir Rena
Mati itu mudah. Kau hanya perlu
melepaskan kehidupan yang telah kau jalani, merasakan napas kehidupan
perlahan-lahan meninggalkan tubuhmu. Tidak ada rasa sakit seperti yang akan kau
alami jika kau memilih untuk hidup. Aku bahkan tidak ingat rasa sakit yang
kualami ketika mengalami kecelakaan maut yang memisahkanku dari dunia fana. Aku
sendiri tidak yakin pernah mengalami rasa sakit itu.
Aku mengingat ada ambulans yang membawa
tubuhku setelah kecelakaan itu terjadi. Namun diriku tidak benar-benar berada
di dalamnya. Ambulans itu melintas melewatiku seolah-olah aku ini angin lalu.
Kemudian aku sepertinya berlari di bawah naungan bintang-bintang malam, tidak
yakin dengan tujuanku. Sepanjang perjalanan dunia seakan-akan mengabur dalam jarak
pandangku. Pada akhirnya aku menemukan sebuah pintu yang tampak seperti
satu-satunya benda nyata. Aku memutar kenopnya perlahan dan mendengar suara
decitan samar. Pintu terbuka dan aku dihadapkan pada versi nyata diriku yang
terbaring di ranjang rumah sakit.
Sepertinya aku belum mati. Mesin itu
terus membunyikan denyut jantungku yang tidak stabil dan sangat pelan. Tidak,
aku belum mati, sepertinya hanya koma. Aku menghampiri diriku yang terbaring di
ranjang, menelusurkan jemariku yang kabur pada luka di sekujur tubuhku.
Kepalaku dibalut perban dan aku melihat ada bekas darah kering di sana. Kakiku
sepertinya patah. Selain itu aku tidak melihat adanya luka yang sangat parah.
Hanya lecet di sana-sini dan aku yakin itu tidak akan menjadi masalah besar.
Saat itu aku masih berpikiran optimis.
Aku yakin sebentar lagi aku pasti akan terbangun dari koma dan bisa kembali
menjalani hidupku seperti kecelakaan ini tidak pernah terjadi. Tiba-tiba aku
mendengar suara pintu berdecit terbuka dan orangtuaku masuk diikuti sahabat
terbaikku, Niken. Wajah Niken terlihat sembap dan matanya merah, aku menduga
dia pasti habis menangis. Aku tahu betul sifatnya yang mudah khawatir.
Diam-diam aku merasa sedih, juga kesal
ketika mereka menatap tubuhku yang tergeletak di ranjang tak berdaya. Sementara
sesungguhnya aku disini mengawasi mereka. Niken berbicara pada kedua orang
tuaku, kemudian keluar. Aku mengikutinya keluar dan melihatnya berjalan
menghampiri Nathan, cowokku yang tampaknya baru datang. Rambutnya acak-acakan
dan wajahnya tak pernah seburuk ini. Sekali lagi aku merasa kesal mereka tidak
melihatku berdiri di sini, sangat dekat dengan mereka.
Nathan terperanjat sejenak melihat
kedatangan Niken. Aku tahu sudah lama sekali mereka tidak saling berbicara.
Namun keadaan sepertinya memaksa Nathan berbicara padanya.
“Bagaimana keadaan Rena? Sebenarnya apa
yang terjadi?” aku mendengar Nathan berbicara, hampir berbisik pada Niken.
Suaranya terdengar sangat cemas.
“Tabrak lari. Orangtua Rena bilang dia
gegar otak. Sampai sekarang Rena belum juga sadar,” bisik Niken.
Mereka saling terdiam, untuk beberapa
saat tampaknya tidak ada yang tertarik untuk buka mulut. Selama itu aku terpacu
untuk meneriakkan sesuatu pada mereka, apa saja, berharap mereka bisa
mendengarku dan mengakhiri kecemasan mereka. Percayalah, aku sudah mencobanya
meski aku tahu mereka tidak bisa mendengarku berteriak. Tenggorokanku rasanya
tidak bisa berfungsi lagi, kata-kata itu tak pernah keluar.
Beberapa detik yang begitu sunyi, aku
sampai berpikir mereka akan terus diam untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya
aku mendengar Niken bersuara.
“Nathan, aku mohon kau lupakan dulu
pertengkaran kita. Demi Rena. Aku tidak mau kita masih bermusuhan ketika Rena
sedang sakit.”
Nathan tidak menanggapi. Aku tidak tahu ia
pura-pura tidak mendengar Niken atau terlalu khawatir pada nasibku sehingga
tidak menanggapi Niken.
“Nat… Untuk kesekian kalinya aku minta
maaf. Jujur aku tidak tahu kesalahanku, tapi kalau aku memang ada salah aku
minta maaf,” ucap Niken lemas sambil berjalan menjauhi Nathan.
“Nik..,” panggil Nathan sambil menggamit
lengan Niken. “Kurasa kau benar. Aku akan melupakan pertengkaran kita. Demi
Rena.”
“Demi Rena,” senyum Niken. Aku belum
pernah melihatnya sebahagia ini sejak pertengkaran mereka. Niken selalu murung,
selalu mempertanyakan apa kesalahannya terhadap Nathan. Mungkin kau tidak akan
menyangka, tapi ini semua sangat erat kaitannya dengan diriku.
***
Aku hanyalah seorang remaja normal
dengan kesibukan khas remaja. Mengerjakan tugas-tugas sekolah, diselingi hang out dengan teman-teman adalah hal
yang biasa. Aku bahkan sudah bisa mengendarai sepeda motor sehingga akan lebih
mudah bagiku untuk pergi ke manapun sesukaku. Orangtuaku hanya membatasi jam
pulang, mereka memberikanku kebebasan untuk pergi ke mana saja asal masih dalam
kota. Aku sungguh mencintai kehidupan remajaku.